Cerita
dewasa ini berkisah tentang percintaanku dengan pembantu baruku yang bekerja di
rumah orang tuaku di malang, umurnya masih sekitar 17-18 tahun dan memiliki
body yang sangat lumayan di tambah wajahnya juga cantik.
Perkenalkan
namaku Anthony, dan panggilan akrabku adalah Anton. Aku berasal dari kota
Malang (Jawa Timur), dan kedua orang tuaku masih tinggal di sana. Umurku baru
25 tahun, dan saat ini sedang studi Master tahun terakhir di Melbourne
(Australia). Sejak lulus SMA aku langsung kuliah S1 di Jakarta, dan sempat
bekerja selama setahun di Jakarta setelah lulus S1. Aku mendapat sponsor dari
orang tua untuk melanjutkan pendidikan S2 di Australia. Aku memilih kota
Melbourne karena banyak teman-temanku yang menetap di sana. Di pertengahan
bulan November 2004 adalah awal dari liburan kuliah atau di Australia sering
disebut dengan Summer holiday (liburan musim panas). Summer holiday di
Australia biasanya maksimum selama 3 bulan lamanya. Saat itu adalah pertama
kali aku pulang ke tanah air dari studi luar negeri. Rindu sekali rasanya
dengan makanan tanah air, teman-teman, dan orang tua. Saat
itu aku pulang dengan pesawat Singapore Airlines dengan tujuan akhir Bandara
Juanda, Surabaya. Aku tiba di Surabaya sekitar pukul 11 pagi, dan terlihat
supir utusan ayah sudah sejak jam 10 pagi menunggu dengan sabar kedatanganku.
Ayah dan ibu tidak menjemputku saat itu karena hari kedatanganku tidak jatuh
pada hari Sabtu atau Minggu, ditambah lagi dengan macetnya lalu lintas akibat
banjir lumpur di kota Porong yang membuat mereka malas untuk ikut menjemputku
di bandara. Wajah supirku sudah tidak asing lagi denganku, karena supir kami
ini sudah bekerja dengan ayah sejak aku berumur 5 tahun. Dia sudah aku anggap
seperti pamanku sendiri. Aku sangat menghormatinya meskipun pekerjaannya hanya
seorang supir. Aku sempat mencari makan di kota Surabaya. Tempat favoritku
tetap di restoran kwee tiau Apeng. Suasana restoran nampak tidak ramai, mungkin
masih pagi hari. Di malam hari terutama di malam minggu, restoran ini akan
penuh dengan antrean panjang. Seabis makan, aku meminta supirku untuk langsung
jos pulang ke Malang. Badanku terasa letih sekali karena perjalanan yang
panjang. Sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu mengobrol santai. Bahasa
jawa supirku masih terkesan medok sekali. Dahulu semasa sma, bahasa jawaku juga
lumayan medok. Tetapi sejak kuliah di Jakarta, aku jarang memakai bahasa
jawaku, sehingga terkesan sedikit luntur. Tapi setiap kata-kata jawa yang
terucap oleh supirku masih bisa aku mengerti 100%, hanya saja aku membalasnya
dengan separuh jawa separuh bahasa Indo. Kemacetan lalu lintas akibat banjir
lumpur di kota Porong sempat menyita perjalanan pulang kami. Aku tiba di
rumahku di kota Malang sekitar jam 4 sore. Sesampai di gerbang rumah, supirku
menekan klakson, memberi peringatan orang di dalam rumah untuk membuka pintu
gerbang. Tak kurang dari 2 menit, pintu gerbang terbuka dan aku membuka jendela
mobilku memberi sapaan hangat kepada bibiku. Bibiku yang satu ini juga lama
ikut dengan ayah dan ibu. Bibiku ini bernama Tutik, dan sudah berumur sekitar
50 tahun lebih. Bibi Tutik jago sekali memasak masakan Indonesia. Makanan bibi
yang paling aku rindukan selama aku kuliah di Jakarta dan Melbourne. Aku sudah
membuat daftar panjang masakan Bibi Tutik selama 3 bulan liburan musim panas
ini. Setelah bersalaman dan bercanda ria dengan Bibi Tutik, tiba-tiba sosok
gadis muda keluar dari pintu rumah memberikan salam kepadaku. Aku sempat
tercengang oleh wajah cantik gadis yang masih terasa asing bagiku.
Ternyata
gadis muda ini adalah pembantu rumah yang baru, karena pembantu sebelumnya
telah menikah dan pindah bersama suaminya. Aku menafsir bahwa umur gadis ini
sekitar 17 atau baru 18 tahun. Setelah diperkenalkan oleh Bibi Tutik, pembantu
baruku ini bernama Yanti. Yanti berperawakan sedang, sekitar 158 cm. Kulitnya
sawo matang. Matanya hitamdan
lebar sehingga tambak bersinar-sinar. Rambutnya hitam sebahu. Besar payudaranya
bisa aku tafsirkan sekitar 32C. Pinggulnya mantap dan kakinya mulus tanpa ada
borok. Wajahnya cantik berhidung mancung, hanya saja bibirnya sedikit tebal.
Tapi mungkin itu yang membuatnya unik. Aku sempat tidak mengerti mengapa ibu
bisa menemukan pembantu secantik ini. Yanti membantuku membawa koper bagasiku
masuk, dan menanyakan diriku apakah ada cucian atau pakaian kotor yang akan
dicuci. Sepertinya Yanti telah diberi info oleh ibuku bahwa aku biasanya selalu
membawa pakaian kotor sewaktu pulang dari Jakarta. Jadi tidak heran ibu bisa
menduga bahwa aku pasti juga membawa baju kotor pulang. Aku unpack 2 koper dan
memisah-misahkan pakaian kotor dengan pakaian bersih, dan juga menata rapi
oleh-oleh dari Australia. Aku sudah menyiapkan semua sovenir-sovenir untuk
ayah, ibu, bibi Tutik, supir ayah. Dan tentu saja oleh-oleh yang pertamanya
buat pembantu lama yang kini sudah tidak bekerja lagi dengan kita, saya berikan
kepada Yanti. Ayah aku belikan topi cowboy dari kulit kangguru. Menurutku cocok
untuk ayah, terutama disaat ayah sedang berkunjung di kebun apelnya. Ibu aku
belikan kulit domba yang halus untuk hiasan lantai kamarnya. Supir ayah aku
belikan korek api berlogokan kangguru dan kaos bergambarkan benua Australia.
Sedangkan bibi Tutik dan Yanti, aku belikan 2 parfum lokal untuk setiap orang.
Yanti
tampak hepi banget diberi oleh-oleh parfum dariku. Aku memang sengaja memilih
parfum dengan botol yang unik, sehingga terlihat sedikit mahal. Ayah dan ibu
pulang dari kantor sekitar jam 6 sore. Malam itu bibi Tutik aku minta untuk
memasak petai udang kecap favoritku. Aku melepas rindu dengan ayah dan ibu.
Kami berbincang-bincang sampai larut malam. Tak terasa kami telah berbincang-bincang
sampai jam 11 malam. Kemudian aku berpamitan dengan ayah dan ibu. Badanku
sangat letih. Aku sudah hampir 36 jam belum tidur. Aku tidak terbiasa tidur di
dalam pesawat. Sewaktu aku hendak menuju ke kamar tidurku, aku sempat berjalan
berpas-pasan dengan Yanti. Melihat aku hendak berpas-pasan dengannya, Yanti
langsung membungkukkan sedikit badannya sambil berjalan. Mata kami tidak saling
memandang satu sama lain. Menurut tradisi kami, tidak sopan pembantu bertatap
pandang dengan majikan saat berjalan berpas-pasan. Malam itu, meskipun badan
letih, aku masih belum langsung tidur. Aku sedang melihat-lihat photo-photoku
dan teman-teman di Melbourne di handphoneku. Aku sempat kangen sedikit dengan
Melbourne. Aku juga sempat berpikir mengenai Yanti, dan penasaran sekali
bagaimana ibu bisa menemukan pembantu secantik Yanti.
Keesokan
harinya aku bangun jam 10 pagi. Aku sudah tidak ingat sudah berapa jam aku
tidur. Suasana rumah sedikit hening. Ayah dan ibu sudah pasti balik ke kantor
lagi. Aku memanggil-manggil bibi Tutik,
dan tidak ada jawaban darinya. Tak lama kemudian Yanti muncul dari kebun
belakang. “Nyo Anton wis mangan? (tuan muda Anton sudah makan?)” tiba-tiba
Yanti bertanya memecahkan suasana hening di rumah. Istilah ‘Nyo’ adalah
kependekan dari ‘Sinyo’ (bahasa Belanda rancu) yang sering dipake di Jawa yang
artinya tuan muda. Aku berusaha membalas pertanyaan Yanti dengan bahasa Jawa.
Tapi aku sudah tidak terbiasa berbincang-bincang dengan 100% bahasa Jawa. “Durung,
aku sek tas tangi kok. Mana bibi? Aku sudah laper nih! (Belon, aku baru aja
bangun tidur. Mana bibi? Aku sudah lapar nih)” jawabku separuh Jawa separuh Indo.
“Bibik melok nyonya. Ora ero budal nang endi. Nyonya mau tetep pesen nang aku lek
Nyo Anton pengen tuku apo gawe mangan isuk (Bibi ikut nyonya. Tidak tau pigi kemana.
Nyonya tadi titip pesan kepada saya kalo tuan Anton ingin beli apa untuk makan
pagi)” kata Yanti. Pagi itu aku berharap bibi Tutik memasak untukku. Tapi apa
boleh buat, aku akhirnya meminta Yanti untuk beli nasi pecel favoritku di dekat
rumah. Hanya sekitar 100 meter dari rumahku. Setelah memberi uang kepadanya,
Yanti pun langsung segera berangkat. Sambil menunggu Yanti kembali, aku
menyalakan TV sambil menonton acara-acara di MetroTV, RCTI, Trans TV, dan
lain-lain. Rindu sekali aku dengan siaran-siaran televisi Indonesia. Aku sudah
tidak sabar untuk menonton acara favoritku seperti Extravaganza, Empat Mata,
dan banyak pula yang lainnya. Hanya sekitar 20 menit, Yanti telah kembali.
Sambil makan nasi pecel aku kembali menonton TV, sedangkan Yanti juga kembali
ke kebun belakang kira-kira mencuci atau menjemur pakaian. Mataku sempat
mencuri-curi pandang ke kebun belakang. Terlihat wajahnya berkeringat karena
terik matahari. Seperti yang aku duga, Yanti sedang menjemur pakaian. Aku
merasa kasihan terhadapnya, karena rata-rata pakaian yang dijemurnya adalah
milikku. Kulihat Yanti sedang berjinjit-jinjit sambil menjemur pakaian. Kaos
yang dikenakan Yanti sedikit pendek, sehingga aku bisa melihat perut dan
pusarnya. Perut Yanti ramping sekali. Payudaranya sedikit menonjol kedepan. Aku
sedikit bergairah melihat kelakuan Yanti saat itu. Aku menjadi tidak
berkonsentrasi menonton TV, mataku tetap melirik saja ke arah Yanti. Tiba-tiba
aku dikejutkan oleh suara bibi Tutik. “Anton sek tas tangi?! Cek siange
tangine. (Anton baru bangun. Kok siang banget bangunnya)” suara bibi Tutik
membuyarkan semuanya. “Bibi teko endi? Tak carik-carik mau. (Bibi dari mana?
Dari tadi aku cari-cari)” jawabku. “Bibi sek tas melok nyonya nang pasar. Mari
ngono barengi nyonya nang omahe koncone nyonya diluk. (Bibi tadi ikut nyonya ke
pasar. Setelah itu nemenin nyonya ke rumah temannya sebentar)” jawab bibi. “Anton
gelem opo siang iki? Gelem sambel lalapan Tutik? (Anton pengen apa siang ini?
Pengen sambel lalapan Tutik)” tanya bibi. Maklum memang sambel lalapan bikinan
bibi Tutik tiada duanya. Makanya aku menamakannya ‘Sambel Lalapan Tutik’. Aku
pernah berpikir untuk membuka depot khusus masakan bibi Tutik. Mungkin suatu hari nanti rencanaku ini bisa
terwujud. “Wuahhh … gelem bibi. Wis kangen aku mbek sambel lalapan tutik.
Goreng ikan pindang mbek goreng tempe sisan yo. (Wuahhh … mau bibi. Dah kangen
aku ama sambel lalapan tutik. Goreng ikan pindang dan goreng tempe juga yah)”
jawabku dengan girangnya. Hari demi hari, waktuku hanya terbuang menonton TV,
makan masakan-masakan bibi Tutik, dan jalan-jalan ama teman-teman lama.
Kadang-kadang aku berkunjung ke rumah sodara ayah, sodara ibu, dan
sepupu-sepupuku.
Lama kelamaan bahasa Jawaku kembali lagi seperti yang dulu.
Sampai
pada suatu hari, sekitar pertengahan bulan December 2006 … Sudah sebulan
lamanya, aku hanya bisa memandang sosok Yanti dari kejauhan. Semakin banyak memandang, semakin tumbuh rasa
penasaran yang besar pula. Yanti tampak semakin lama semakin cantik di mataku.
Dan maaf, kata-kata yang sebenarnya adalah Yanti semakin membuatku bernafsu.
Ingin sekali aku memiliki dirinya, jiwa dan raganya. Aku seperti kerasukan saat
ini, tiap kali aku melihat Yanti, otakku selalu terbayang-bayang dirinya saat
terlanjang. Pada suatu hari, seingatku itu hari Jumat. Aku bangun kesiangan,
lewat jam 11 pagi. Kepalaku pening karena bangun kesiangan. Kulihat sekeliling,
bibi Tutik sedang tidak ada di rumah. Aku masa bodoh dengan keadaan sekitar
yang sunyi. Aku duduk di sofa empuk di ruang keluarga, tapi kali ini aku tidak menyalakan
tv. Kudengar Yanti sedang di halaman belakang seperti biasanya mencuci baju.
Kali ini aku memberanikan niatku untuk mendekati, mungkin awalnya harus saling
kenal dulu biar akrab. Aku tidak pernah ngobrol santai dengan Yanti selama ini,
kebanyakan aku ngobrolnya dengan bibi Tutik. Karena mungkin aku telah
dibesarkan juga oleh bibi Tutik, jadi apa saja bisa nyambung bila ngobrol
dengan bibi Tutik. Aku beranjak dari sofa dan menuju halaman belakang untuk
mengajak Yanti ngobrol. Namun hanya terhitung beberapa langkah dari pintu
belakang, aku terpeset dan terpelanting di belakang. Bunyi ‘gubrakan’ tubuhku
lumayan keras, dan pinggangku sakitnya bukan main. Yanti terkejut melihat
tubuhku yang terpelanting ke belakang. Aku meringis kesakitan, sambil memegangi
pinggangku yang sakitnya bukan main. “Nyo Anton … kok iso moro-moro tibo? …
(tuan muda Anton … kok bisa tiba-tiba jatuh? …)” tanya Yanti panik. Aku hanya
bisa meringis sambil menunjuk lantai yang masih basah. “Lahh … nyo Anton mosok
ora ketok lek tehel’e sek basa ngono … endi seng loro? … (lah … tuan muda Anton
masa ngga liat kalo lantainya masih basah … mana yang sakit? …)” tanya Yanti
sekali lagi. Aku hanya bisanya meringis sambil memegang pinggulku yang masih
saja sakit. “Mlebu sek nyo Anton … tak urut’e cekno mendingan … longgo’o ndek
sofa sek … Yanti golek obat urut ndek
kamar nyonya? … (masuk dulu tuan muda Anton … aku urut biar mendingan … duduk
saja di sofa … Yanti cari obat urut di kamar nyonya? …)” pinta Yanti. Aku
menurut saja dengan permintaan Yanti. Aku baringkan tubuhku di atas sofa empuk.
Tak lama kemudian Yanti kembali sambil membawa minyak tawon. Dia memintaku
berbaring dengan posisi telungkup, dan menyuruhku membuka setengah pakaian
atasku. Saat ini aku ngga ada pikiran apa-apa, karena aku masih berkonsentrasi
membuang rasa sakit di pinggangku. Yanti terus mengurut-urut pinggangku yang
sakit lumayan lama, dan sekali-kali memijatnya. Aku akui pijatan dan urutan
Yanti terasa nikmat, sehingga perlahan-lahan rasa sakitnya mulai menghilang.
Ternyata pertolongan pertama yang ditawarkan Yanti sangat ampuh. Kini rasa
sakit di pinggangku perlahan-lahan membaik, meskipun masih ada sedikit rasa
sakit. Namun rasa nikmat pijatan dan urutan Yanti membuat akal sehatku mati.
Aku kemudian timbul rencana lain di dalam otakku. “Yanti … ora enak iki ndek
sofa … nang jero kamarku wae … ndek sofa iki kudu arep melorot wae badanku …
(Yanti … kagak enak nih di atas sofa … di dalam kamarku aja … di atas sofa
seperti yang mau melorot saja badanku …)” pintaku. Yanti hanya mengangguk
pertanda setuju. Kemudian aku menuju ke kamarku. Yanti memintaku untuk menunggu
di kamar dulu, dia mau menyelesaikan jemuran baju dulu, karena tanggung.
Di
dalam kamar, otak kotorku sedang merencanakan taktik bagaimana mendapatkan tubuh
Yanti. Segala cara dan taktik telat aku pikirkan, dan banyak sekali yang ada di
otak ini. Selang beberapa saat Yanti mengetok pintu kamarku, dan aku
menyambutnya dengan gembira. “Yanti, bibik Tutik nyang endi? Teko omah jam piro
jerene? (Yanti, bibi Tutik pergi mana? Jam berapa nanti pulang katanya?)”
tanyaku. “Bibik ono urusan’e, ketokan’e sesok jange teko omah maneh. Koyok’e
urusan penting. (Bibi ada urusan, keliatannya besok baru pulang rumah lagi.
Kayaknya urusan penting)” jawab Yanti. Mendengar jawaban Yanti tersebut, aku
girangnya bukan main. Berarti hanya aku dan Yanti saja yang ada di rumah saat
ini. Papa/Mama pasti sedang di kantor, dan biasanya mereka baru pulang sekitar
jam 6 sore, dan ini masih baru jam 12 siang lewat. Aku mencium bau kemenangan.
“Yanti,
pinggangku sek rodo loro … tolong uruten maneh yo … urutan-mu uenak tenan … ora
kalah mbek pijetan’e sing wis mahir (Yanti, pinggangku masih rada sakit nih …
tolong diurut lagi yah … urutan-mu enak banget … kagak kalah ama pijetan
professional)” kataku sambil memujinya. “Nyo Anton iki ono-ono wae … iki sing
pertama Yanti mijetin wong liyo … ora ono pengalaman’e (tuan muda Anton ini
ada-ada aja … ini baru pertama kali Yanti
pijitin
orang lain … masih belon ada pengalaman)” tundas Yanti. “Walah walah … sing
pertama wae wes hebat … pasti Yanti pisan hebat ndek bidang liyo (walah walah …
yang pertama kali aja sudah hebat … pasti Yanti ada kehebatan di bidang lain)
pujiku sekali lagi. “Nyo Anton iso wae seh … (tuan muda Anton bisa aja sih)”
jawab Yanti singkat. “Yanti ojok jeluk aku nganggo jeneng ‘nyo’ … koyok cah
cilik wae … jeluk nganggo jeneng mas Anton wae … (Yanti jangan panggil aku
dengan nama ‘nyo’ … kayak anak kecil aja … panggil mas Anton aja)” pintaku.
Yanti hanya menganggu tanda setuju. Suasana kamar sempat hening, hanya
terdengar bunyi napas Yanti yang sedang asyik mengurut pinggangku. Tiba-tiba
Yanti bertanya “Wes mendingan saiki mas Anton? (Dah mendingan sekarang mas
Anton)”. Otakku langsung merespon pertanyaan Yanti dengan cepatnya. “Pinggangku
wes mendingan, tapi roso-roso’ne pokangku rodo linu. Coba’en diurut pisan
pokangku. (Pinggangku sudah mendingan, tapi rasanya pahaku rada linu. Coba
diurut juga pahaku)” jawabku ngawur tapi mengena. Tanpa protes atau bertanya
Yanti langsung mengurut pahaku. Pertama-tama paha kananku kemudian paha kiriku,
saling bergantian. Posisi tubuhku kini terlentang, sehingga setiap
urutan-urutan yang diberikan Yanti sangat terasa nikmat. Ada sesuatu yang mengganjal
di dalam celana dalamku, ingin berdiri saja maunya. Yah singkat kata, batang
kontolku dah dari tadi ingin sekali berdiri, tapi masih tertahan oleh celana
dalamku. Setelah selang beberapa saat, dengan tanpa malu-malu, tanpa basa-basi,
dan dengan pasang muka beton, aku mulai memberanikan diri.
“Yanti,
saiki pokangku wis ora linu maneh, tapi saiki endokku dadi rodo linu. Koyok’e
nyambung teko pokang. Tolong sisan, tapi dielus-elus endokku lek ora keberatan.
(Yanti, sekarang pahaku dah ngga linu lagi, tapi sekarang buah zakarku jadi
rada linu. Kayaknya nyambung dari paha deh. Tolong juga, tapi dielus-elus saja
buah zakarku kalo ngga keberatan.)”, pintaku tidak tau diri. Yanti sempat
terhenti, dan bengong aja melihat tingkah polahku yang tidak tau
diri
itu. Di raut wajahnya tidak tampak seperti protes atau marah, melainkan seperti
kaget dan bengong seakan-akan bertanya-tanya. “Kok iso linu endok’e mas Anton …
emange endok’e mas Anton melok kepleset? (Kok bisa linu buah zakar mas Anton …
emangnya buah zakar mas Anton ikut terpeleset?)” tanya Yanti lugu. “Yah,
koyok’e ngono. (Yah, kayaknya begitu)” jawabku singkat. Tanpa banyak tanya
lagi, Yanti perlahan-lahan mulai mengelus-elus buah zakarku dari luar celanaku.
Rasanya tidak begitu nikmat, tapi ada getaran napsu yang muncul dari otakku. “Uenak
mas Anton? (Enak mas Anton?)” tanya Yanti. Aku menjawab dengan mengeleng-gelengkan
kepalaku pertanda tidak enak. “Yo opo sek uenak? (Trus gimana yang enak?)”
tanya Yanti lagi. Aku berpikir sejenak, kemudian aku perolotin celanaku
berserta celana dalamku. Serentak melihat gelagatku, Yanti kaget bukan main dan
secara reflek memejamkan matanya. “Mas Antonnn … lopo kok mlorotin katok … ora
ono acara’ne ngomong dhisik … (Mas Antonnn … kenapa kok melorotin celana …
tanpa ada acara ngomong lagi)” protes Yanti dengan matanya yang masih terpejam.
“Loh, Yanti sek tas mau takok yok opo cekno uenak … lah ya aku plorotin wae katok’e
… cekno uenak elus-elusan’e (Lho, Yanti tadi tanya gimana caranya biar enak …
yah aku lepas saja celananya … biar enak elus-elusannya)” jawabku menyakinkan
Yanti. Yanti masih tetap memejamkan matanya, tapi tangannya mencoba meraba-raba
pahaku mencari buah zakarku lagi. Setelah mendapatkan buah zakarku, Yanti
kembali mengelus-elusnya lagi. Kali ini … alamak … enak banget. Terasa lembut
sekali tangan Yanti. Serentak saja, batang penisku langsung tegak dan mengeras.
“Lah … opo iki mas Anton … kok atos soro? (Lho … apa ini mas Anton … kok keras banget?)”
tanya Yanti heran dengan mata sambil terpejam. “Yo delok’en wae Yanti … buka’en
moto-mu cekno weruh … ora bahaya kok (Yah liat aja Yanti … buka dulu matanya
biar tau … ngga bahaya kok)” jawabku dengan jantungku berdegup-degup kencang. Perlahan-lahan
Yanti membuka matanya, dan langsung terbelak kedua matanya sambil terheran-heran.
“Lah … manuk’e mas Anton kok iso ngaceng koyok ngono … linu sisan tah? (Lho … burung
mas Anton kok bisa tegang kayak gitu … linu juga tah?)” tanya Yanti lugu. “Iki
jeneng’e manukku ‘happy’ alias seneng … soale endok’e dielus-elus wong wedok
sing ayu kayak Yanti (Ini namanya burungku ‘happy’ alias senang … soalnya buah
zakarnya dielus-elus wanita cantik kayak Yanti)” kataku mulai merayu.
“Mas
Anton iki … (Mas Anton ini …)” kata-katanya terputus dan terlihat wajah Yanti
yang malu-malu atas pujianku itu. Yanti ternyata masih lugu dalam hal beginian,
membuatku semakin yakin kalo Yanti ini masih ting-ting alias perawan.
Tanpa
disuruh olehku, Yanti mulai mengelus-elus batang penisku dengan lembut, kadang-kadang
mengurut-urutnya. Tak karuan rasa, semakin dielus, semakin tegang dan tegak
berdiri. Yanti dari tadi senyum-senyum saja, dan tampak wajahnya yang masih
malu-malu. Setelah lama dielus-elus oleh Yanti batang penisku berserta buah
zakarnya, aku ingin melaju di langkah berikutnya. Aku semakin berani dan tidak
sungkan-sungkan lagi. Sambil berbaring kutatap wajah cantik dan manis Yanti. “Yanti
…” kataku. “Emmm …” jawab Yanti singkat. “Saiki gantian yo … (Sekarang gantian
yah)” kataku. “Gantian yo opo? (Gantian gimana?)” tanya Yanti. “Hmmm … ngene …
saiki gantian aku … teko mau Yanti wis delok manukku mbek endokku … sek
dielus-elus maneh … saiki gantian aku seng delok tempik’e Yanti (Hmmm … gini …
sekarang gantian aku … dari tadi Yanti dah liat burungku ama buah zakarku … dan
dielus-elus lagi … sekarang gantian aku yang liat memek Yanti” kataku tanpa
basa-basi. Ngga mau mas Anton … malu aku … ” tolak Yanti. Penolakan
Yanti yang setengah hati itu membuatku makin penasaran dan makin bernapsu. Aku
beranjak dari ranjang, dan memaksa lembut Yanti untuk merebahkan tubuhnya di
atas ranjangku. Setelah berhasil merebahkan tubuhnya Yanti langsung bertanya. “Mas
Antonnn … mau diapain aku?” tanya Yanti pasrah. “Diam aja Yanti … ngga bakalan aku
apa-apain kok .. cuman pengen liat memek Yanti aja …ngga adil kalo dari tadi burungku
saja yang diliat” kataku bohong. Padahal dibalik benakku banyak hal yang aku
ingin lakukan terhadap Yanti, terutama terhadap tubuhnya. Aku sekap roknya, dan
aku tarik celana dalam dibalik roknya. Yanti berusaha menahannya, tapi usahanya
sia-sia, karena dia menahannya dengan setengah hati alias tidak dengan sekuat
tenaga. Kelakuan Yanti ini seperti lampu hijau untukku. Seakan-akan pasrah saja
mau diapain olehku. Setelah berhasil melepas celana dalamnya, aku tarik roknya
ke atas perutnya, agar supaya aku bisa melihat jelas memeknya. Secara reflek
Yanti menutup memeknya dengan tangannya.
“Udahan
mas Antonnn … malu banget aku …” kata Yanti. “Belon Yanti … jangan ditutup
terus dong memeknya … ngga keliatan” kataku protes. Aku kemudian tarik
tangannya yang sedang menutupi memeknya. Yanti langsung menutup mukanya dengan
kedua tangannya, dan kedua pahanya menyilang. Yanti masih terus berusaha
menyembunyikan memeknya dariku. Bisa aku maklumi perasaan malu yang sedang
Yanti alami. Aku mencoba merayu dan menyakinkan Yanti apa adanya. “Jangan
malu-malu Yanti … ngga ada siapa-siapa yang bisa liat kok … cuman ada aku saja …”
rayuku lagi.
Kini
Yanti mulai pasrah, dan kedua pahanya yang tadinya menyilang, sekarang
sudah
mulai kendor. Segera saja aku ambil kesempatan ini untuk mengendorkan pertahanan
Yanti. Setelah aku berhasil membuka selangkangan Yanti … alamak … aku langsung
menelan ludah. Memek Yanti begitu indah dan subur ditumbuhi oleh jembut-jembut
yang masih lembut. Aku yakin jembut-jembut ini tidak pernah sekalipun Yanti
cukur sejak pertama kali tumbuh, sehingga masih tampak halus lembut. Kucoba
lagi membuka selangkangan Yanti lebih lebar lagi, aku ingin sekali menemukan
biji etil Yanti. Aku merasa kesulitan menemukan biji etil Yanti dengan mata
terlanjang. Ketika aku mencoba membuka bibir memek Yanti untuk menemukan biji
etilnya, Yanti langsung protes. “Mas … jangan mas …” pinta Yanti. Aku semakin
gemas dengan nada penolakan pasrah Yanti. Aku tidak mengubris permintaan Yanti,
dan semakin gencar bergerilya mencari biji etilnya. Ternyata tidak susah
menemukan biji etilnya dengan mencari pakai tangan. Aku mainin biji etilnya
dengan gemas. “Mas
Anton … udahan mas … malu banget aku” mohon Yanti. Otakku sudah gelap, dan
tetap memainkan biji etilnya. Ternyata tidak perlu memakan waktu lama untuk
membuat memek Yanti basah. Mungkin ini pertama kalinya Yanti merasakan nafsu
birahi alias horny. Dia seperti tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi
saat itu. Kedua tangan tidak lagi menutup wajahnya. Tangan kanannya bersembunyi
di balik bantal, dan tangan kirinya meremas guling. Yanti menggigit bibir
bawahnya, seolah-olah menahan geli. Tidak kudengar suara desahan dari mulut
Yanti, tapi nafasnya kini sudah berubah menjadi memburu. Aku berasumsi bahwa
Yanti masih belum bisa atau belum terbiasa mendesah.“Yanti … memekmu dah basah banget sekarang” pujiku. “Masss
… masss … udahan masss … diapain Yanti … katanya cuman mau liat aja … sekarang kok
dimainin memekku” protes Yanti pasrah. “Aku dah jatuh cinta ama memekmu … bikin
gemes aja … dielus-elus malah jadi basah … ” kataku sambil bercanda. Belum
selesai aku melanjutkan kalimatku, Yanti secara reflek tiba-tiba menjerit “Mas
Antonnn … massssss …”. Yanti orgasme di atas ranjangku.
Aku
biarkan Yanti mengambil nafas dulu biar sedikit tenang. “Yanti barusan aja kok
teriak … sakit?” tanyaku pura-pura bego. “Ngga sakit mas … barusan Yanti kayak
kena setrum … rasanya seperti di surga … enak banget … jantungku sekarang masih
deg-degan” jawab Yanti. Kini saatnya giliranku untuk orgasme. Kontolku sudah
sejak tadi tegang melihat kelakuan Yanti. Pekerjaanku masih belum tuntas. Aku
bingung apa yang harus aku katakan ke Yanti bahwa aku ingin menyodok kontolku
ini ke dalam memeknya yang masih perawan itu. Akhirnya aku memutuskan untuk
tidak bertanya atau berkata apapun. Aku mencoba untuk langsung main terobos
saja. Aku kembali membuka selangkangan Yanti, dan mencoba mengarahkan kontolku
ke mulut memeknya. Yanti protes lagi. “Mas Anton mau apa?” tanya Yanti heran. “Oh
… aku juga mau kesetrum … kayak Yanti tadi” jawabku spontan. “Lho … trus kenapa
burung mas mau masuk ke memekku?” tanya Yanti heran. Yanti benar-benar masih
bau kencur di dalam urusan seperti ini. Mungkin tidak ada orang yang pernah
mengajarinya teori tentang hubungan seks atau biasanya disebut dengan hubungan
pasutri (pasangan suami istri). “Aku baru bisa kesetrum kalo burungku masuk ke
memekmu” jawabku gombal. “Jangan mas … nanti sakit … katanya orang-orang”
katanya. “Jangan takut Yanti … dimasukin pelan-pelan aja … dijamin ngga sakit”
rayuku. Yanti diam saja dan pasrah.
Aku
kemudian mengarahkan ujung penisku ke bibir vagina/memek Yanti. Yanti memejamkan
matanya, dan kini giginya kembali menggigit bibir bawahnya. Tangan kananku
memegang pangkal penisku agar batang kontolku tegak dengan mantap, dan tangan
kiriku berusaha membuka bibir vagina Yanti, supaya aku bisa melihat lubang
memeknya. Karena Yanti masih perawan, ngga mudah untuk menembuh pintu masuk
gadis perawan. Hal ini sudah aku alami sekali dengan pacar lamaku. Aku ngga
ingin melihat Yanti nantinya menangis seperti yang dialami oleh mantan pacarku
yang dulu, setelah aku paksa masuk batang kontolku ke lubang memeknya yang masih
perawan. Pertama-tama aku basahi terlebih dahulu ujung penisku dengan air
ludahku biar menjadi pelumas sementara, kemudian aku dorong masuk ujung penisku
kira-kira sedalam 2 centi. Setelah berhasil masuk kira-kira kedalaman 2 centi,
aku diam sejenak, kulihat Yanti sedikit meringis menahan perih. “Perih Yanti?”
tanyaku iba. “Rada perih dikit mas” jawab Yanti yang kini matanya kembali terbuka
memandangku. “Aku masukin pelan-pelan yah … kalo perih bilang aja … jangan diam
aja …” suruhku.
Suasana
kamarku makin panas saja rasanya. Aku lepas bajuku, sehingga kini aku sudah
terlanjang bebas. Kondisi Yanti masih lengkap, hanya roknya saja yang terbuka. Batang
penisku yang dari tadi sudah masuk 2 centi itu masih tampak keras saja. Aku
kini tidak lagi memegangi batang kontolku, karena dengan menancap 2 centi saja
di dalam memek Yanti dalam kondisi amat tegang, mudah untukku menembus semua
batang kontolku. Tapi kini aku harus memasang taktik biar Yanti nantinya juga
menikmati. Perih adalah maklum untuk gadis perawan yang sedang diperawani. Kedua
tanganku kini menahan tubuhku. Aku membungkuk dan menatapi wajah Yanti yang
cantik. Yanti masih terlihat sedikit merintih karena rasa pedih yang dialaminya.
Aku menekan lagi batang penisku, masuk sedikit, kira-kira setangah sampai 1 centi.
Yanti meringis lagi. Aku mainkan pinggulku maju dan mundur agar batang penisku
maju mundur di dalam liang memek Yanti. Batang kontolku cuman mentok sampai
kedalaman kira-kira 3 centi. Tapi aku terus bersabar sampai nanti tiba nanti
saatnya yang tepat. Aku teruskan irama maju mundur batang kontolku di dalam
memek Yanti. Perlahan-lahan suara rintihan Yanti semakin memudar, dan wajah
Yanti tidak lagi merintih. Ujung penisku terasa basah oleh cairan yang kental.
Aku yakin cairan ini bukan air liurku yang tadi, melainkan cairan murni dari
memek Yanti. Sekarang batang kontolku bisa masuk perlahan-lahan lebih dalam
lagi, dari 3 centi maju menjadi 4 centi, kemudian dari 4 centi masuk lebih
dalam lagi menjadi 6 centi.
“Masih
pedih Yanti?” tanyaku. Yanti menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak lagi
sakit. Napas Yanti kini kembali memburu dan terengah-engah, dan tidak lagi
menggigit bibir bawahnya. Tangan kanannya meremas sarung ranjangku dan tangan
kirinya meremas selimutku. Goyangan pinggulku aku percepat sedikit demi
sedikit, memberikan sensasi erotis terhadap memek Yanti. Dalam sekejap kini aku
bisa membuat batang kontolku kini terbenam semuanya di dalam lubang kenikmatan
milik Yanti. “Masih pedih Yanti?” tanyaku sekali lagi. Yanti kali ini tersenyum
malu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. “Memekmu dah enakan lagi?”
tanyaku bercanda. Yanti mengangguk. “Yanti … buka dong bajumu … masa ngga
merasa panas? … buka aja biar sejuk” kataku. Aku sebenarnya ingin memperawani
Yanti dalam keadaan benar-benar terlanjang.
Yanti
menurut saja, dan kemudian dia melepas kaos bersama BH-nya, dan masih membiarkan
roknya, karena batang kontolku masih sibuk menari-nari di dalam lubang
memeknya. Tampak payudara Yanti yang merekah dengan ukuran 32C menurut tafsiranku.
Tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Pas untuk ukuranku. Puting
susunya berwarna coklat gelap. Typical atau khas payudara wanita asli
Indonesia. Melihat puting susunya yang menantang seperti itu, membuatku gemas
rasanya. Aku mencubit sambil memelintir puting susunya, dan Yanti protes atas
tindakanku tersebut. “Masss … sakit masss …” protes Yanti lembut. Aku pun kemudian
senyum padanya, dan langsung menghentikan tindakanku tersebut. Aku merasa sudah
lama aku menggenjot tubuh Yanti siang itu. Tapi aku masih belum menampakkan
tanda-tanda akan datangnya klimaksku. Aku sejak tadi berpikir antara iya atau
tidak nantinya aku memuncratkan air maniku ke dalam memeknya. Sejujurnya aku
berkeinginan hati untuk menyirami memek Yanti dengan air maniku, tapi aku juga
rada kuatir akan konsekwensinya bila terjadi apa-apa dengannya, alias hamil
nantinya. Nafas Yanti semakin memburu saja, tapi wajahnya tampak makin gelap
saja. Darah Yanti seakan-akan memanas dan terkumpul di atas kepalanya. Kali ini
Yanti tak kuat untuk menahan genjotan-genjotan dan gesekan-gesekan nikmat yang
diberikan oleh batang kontolku. Mulut Yanti kini tak terkontrol. Untuk pertama
kalinya mulut Yanti mendesah atau merintih basah. “Uhh … ohhh … masss … masss …
geli masss …” rintih Yanti. “Aku geli juga Yanti … Yanti sudah mau pipis?”
tanyaku penasaran melihatnya sudah seperti cacing kepanasan. Leher Yanti sudah
mulai berkeringat. Sekujur badanku juga tidak kalah keringatnya. Semakin berkeringat,
semakin seru saja aku menggagahi tubuh Yanti. Seperti
tau apa yang aku maksud dengan kata ‘pipis’, Yanti pun menganggukkan kepalanya.
Yanti sudah akan memasuki tahap orgasme yang kedua kalinya.
Tidak
sampai hitungan 2 menit, Yanti tiba-tiba memekik sambil tangan kanannya meremas
biceps-ku. “Masss … ampunnn masss … geli banget … ingin pipis rasanya … ahhh …”
pekik Yanti dengan tangan kanannya yang masih meremas biceps-ku. Tidak salah
lagi, Yanti telah mencapai orgasme keduanya. Memeknya semakin basah saja. Aku
berhenti menggenjotnya dan mendiamkan batang kontolku tertanam dalam-dalam di
dalam memeknya yang basah nan hangat. Kurasakan setiap denyutan daging-daging
di dalam memek Yanti. Setelah buruan nafasnya mereda, aku cabut batang kontolku
keluar dengan maksud untuk melepas roknya yang masih menempel di tubuhnya. Aku
ingin melihatnya bugil tanpa busana apapun. Saat kutarik batang kontolku, aku
melihat sedikit bercak darah di tengah-tengah batang kontolku, dipangkal
kontolku, dan di daerah bulu jembutku. Kuperawani sudah Yanti, dan ini adalah
bukti keperawanan Yanti yang telah aku renggut darinya. Yanti
kini bugil tanpa selembar kain apapun. Aku kembali memasukkan batangkontolku
ke dalam memeknya. Masih terasa basah liang memek Yanti. “Yanti … Yanti …
sekarang aku yang harus pipis … siap-siap yah” kataku. Yanti seperti tidak
mengerti apa yang aku katakan, tapi kepala mengangguk saja (hanya menurut
saja). Aku kembali menggenjoti liang memeknya lebih cepat dari biasanya.
Kupercepat setiap hentakan-hentakan, dan bisa kurasakan kenikmatan gesekan-gesekan
terhadap daging-daging di dalam memek Yanti. Memberikan sensasi yang luar biasa
dasyatnya. Wajah Yanti kembali memerah, dan kini nafasnya kembali memburu lagi.
Kali ini Yanti sudah tidak malu-malu lagi untuk mendesah dan merintih nikmatnya
bercinta. “Yanti … enak/senang banget
ngentot ama kamu … memekmu gurih banget” pujiku sambil terus menggenjot
memeknya. “Masss Anton … masss … aku pengen pipis lagi … ahhh masss …” desah
Yanti. “Itu namanya mau datang Yanti … bukan mau pipis” jawabku sambil tertawa
renyah dan Yanti pun tersenyum bingung. Mungkin baginya istilah ‘datang’ masih
terasa aneh. Sekujur tubuhku berkeringat dan tergolong basah kuyup. Sudah
berapa tetes keringatku yang jatuh di perut dan dada Yanti. Posisiku
menyetubuhinya masih tetap berada di atas. Sejak tadi aku belum menyuruhnya
merubah posisi. Mungkin bagiku lebih nyaman untuk Yanti digagahi dengan
posisiku di atas. Yanti masih termasuk bau kencur dalam masalah beginian. Batang
kontolku makin lama terasa makin mengeras. Lahar mani di dalamnya ingin segera
meletup keluar. Aku sudah tidak mampu untuk berpikir dengan akal sehat kembali.
Otot-otot disekujur batang kontolku sudah tidak mampu lagi membentung lahar
panas yang ingin segera menyembur keluar. Aku sudah tidak perduli lagi dengan
rasa kuatirku tadi. Aku hanya ingin menyemburkan lahar panas ini secepat mungkin.
Isi otakku sudah gelap rasanya.
“Yanti
… aku mau datang nih … ngga bisa ditahan lagi … sekarang Yanti … sekaranggg …
Yantiii” aku mengerang keras diiringi oleh semburan lahar panas
dari
batang kontolku yang mengisi semua liang memek Yanti. Semburan panas dari batang
kontolku mendapat sambutan hangat dari Yanti. Aku memeluk erat tubuh Yanti, dan
Yanti membalas memelukku sambil memekik memanggil namaku. Aku hanya dapat
menduga bila Yanti mendapatkan orgasme-nya yang ketiga kali. Batang kontolku
berkali-kali memuntahkan lahar panasnya di dalam lubang kenikmatan milik Yanti.
Mungkin sekarang liang memek Yanti penuh sesak oleh lahar maniku. Aku diam
sejenak, mengatur nafasku kembali. Tubuhku masih menindih tubuh Yanti. Kini
semua keringatku bersatu dengan keringat Yanti. Aku memeluk Yanti, sambil menciumi
lehernya. Batang kontolku masih menancap di dalam memek Yanti. Aku masih belum
ingin mencabutnya sampai nanti batang kontolku sudah mulai meloyo. “Yanti …
terima kasih … ” bisikku dalam bahasa Indo. Yanti hanya diam saja. Tak lama
kemudian, aku mendengar Yanti menyedot ingusnya. Ternyata mata Yanti tampak berkaca-kaca.
Aku menduga kuat Yanti ingin sekali menangis, dan tampak penyesalan di
wajahnya. Melihat tingkah laku Yanti, aku berusaha memberinya comfort
(kenyamanan), dan rayuan agar membuatnya lega atau tidak sedih kembali. Aku
mengatakan kepada Yanti bahwa ini adalah rahasia kita berdua, dan mengatakan bahwa
aku sayang kepadanya. Aku berjanji padanya bahwa ini adalah untuk pertama dan
terakhir kalinya aku menyetubuhinya. Yanti begitu menurut dengan kata-kataku
dengan
polos dan lugu. Aku sedikit ada rasa penyesalan telah memperawani gadis cantik
dan imut seperti Yanti. Aku meminta maaf kepadanya karena aku khilaf dan tidak
dapat menahan keinginanku itu karena sejak lama aku memantau dan melihat sosok
dirinya dari kejauhan. Begitu dekat dengannya, aku tidak mampu lagi menahan
nafsu birahiku. Selama liburan musim panas tersebut, aku sering sekali
mencuri-curi waktu dan tempat untuk bersetubuh dengan Yanti. Sejak pertama kali
memperawaninya, agak susah untukku untuk menggagahi tubuh nikmatnya lagi. Yanti
selalu menolak dengan alasan takut sakit atau apa gitu.
Tapi
dasar lelaki yang penuh dengan akal muslihat, aku tetap berhasil menikmati
tubuhnya dan memeknya berkali-kali. Untung saja, makin lama Yanti semakin
menyukai berhubungan badan denganku. Banyak teknik yang aku ajarkan kepadanya,
dari BJ, HJ, dan posisi bercinta yang lain (doggy style, woman on top, gaya
menyamping, dll). Aku kadang meminta Yanti memberikan BJ atau HJ di ruang
keluarga sambil aku menonton TV disaat tidak ada orang di rumah. Sejak saat itu
pula, aku selalu memakai condom untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.
Aku tidak ingin aib ini sampai tercium oleh anggota keluargaku yang lain. Sudah
sering kali aku bermain cinta dengan Yanti di liburan musim panas ini. Aku sempat
mengganti tanggal pesawatku kembali ke Melbourne agar aku bisa lebih lama di
Indonesia. Aku kembali ke Melbourne untuk melanjutkan studiku lagi sekitar akhir
Februari. Semenjak kembali ke Melbourne lagi, aku kangen dengan Yanti, dan rindu
bercinta dengannya. Kadang-kadang aku menelpon rumah di waktu siang hari (waktu
Indonesia) untuk mengobrol dengan Yanti. Dan seputar obrolan kami adalah tentang
‘gituan’ aja.
Studiku
tinggal 1 semester lagi. Aku sudah tidak sabar untuk menyelesaikan studiku ini,
agar aku bisa kembali ke Indonesia bertemu kembali dengan Yanti. Sebenarnya aku
sendiri tidak tau bagaimana masa depanku dengan Yanti. Tapi aku berkeinginan
untuk tetap tinggal di Malang, paling tidak melanjutkan atau bekerja di kantor
perusahaan papa. Dengan ini aku bisa senantiasa dekat dengan Yanti. Biarlah
nanti waktu yang akan menentukan nasibku dengan Yanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar